Akses Alokon dan Kejadian Stunting di Sulteng
Pada tahun 2030, Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi yaitu jumlah penduduk usia produktif akan bertambah dua kali lipat dari jumlah penduduk yang kurang produktif. Usia produktif ini diperkirakan 180 juta jiwa, yang akan menjadi motor penggerak perekonomian nasional.
Alih-alih menjadi berkah, bonus demografi terancam menjadi
malapetaka karena tingginya persentase balita penderita stunting di Indonesia. Padahal, balita saat inilah yang kelak
menjadi tenaga produktif tersebut.
Permasalahan stunting tentunya merupakan permasalahan
bangsa Indonesia saat ini, tak terkecuali di provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Menurut data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting
di Sulteng sebanyak 32.5% dan yang terbaru hasil Studi Status Gizi Balita
Indonesia (SSGBI) 2019 menunjukan angka 31.26% sehingga Sulteng masuk ke dalam
10 besar angka prevalensi stunting di
Indonesia.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan
perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang
ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar normal
pada umumnya. Hal ini
diakibatkan asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan dan
terjadi dalam waktu yang panjang. Stunting
berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa
keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan
penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Dokter Hasto Wardoyo
selaku Kepala BKKBN RI dalam sebuah wawancara bersama Tribun News, mengatakan salah satu penyebab
dari stunting adalah dekatnya jarak
kelahiran anak yang dilahirkan oleh seorang ibu. Bahkan dalam sebuah penelitian
diketahui bahwa jeda waktu antara kehamilan mempengaruhi kesehatan ibu dan anak
dalam beberapa hal. Setelah persalinan, tubuh ibu membutuhkan waktu untuk
mengisi kembali mikronutrien kunci. Jadi, hamil lagi terlalu cepat dapat
mengurangi nutrisi yang tersedia untuk janin dan membatasi produksi air susu
ibu (ASI). Selain itu juga bisa mempersulit sebagian orang tua untuk
mencurahkan waktu dan sumber daya yang cukup untuk setiap anak sehingga
berpotensi untuk terjadinya stunting.
Oleh karena itu solusi untuk hal tersebut adalah mengikuti program Keluarga
Berencana (KB).
Namun demikian dalam
dekade terakhir angka kelahiran total (TFR) masih mengalami stagnasi di angka
2.6 anak per wanita subur, sedangkan angka pemakaian kontrasepsi (CPR) dan
kebutuhan masyarakat untuk ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need) tidak bergeser pada kisaran di angka 58% dan 11% secara
berurutan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh akses ke alat dan obat kontrasepsi (alokon) pada fasilitas kesehatan KB (Faskes KB) yang tidak konsisten. Maka dari itu perlu penguatan sistem informasi manajemen
rantai pasok alokon agar pasangan usia subur (PUS) di seluruh Indonesia
memiliki akses ke beragam pilihan metode kontrasepsi.
Angka kekosongan stok
(stock out) untuk semua jenis
kontrasepsi di faskes se Sulteng tahun 2020 rata-rata sebanyak 16% dan terbaru
data stock out alokon Januari – Juli
2021 sebanyak 14%. Namun di sisi lain
tingkat stok berlebih juga sangat tinggi yakni sebanyak 54% sedangkan stok yang
memadai berkisar 24%. Dari angka tersebut dapat kita simpulkan bahwa manajemen
rantai pasok alokon di Sulteng belum optimal yang diperkuat oleh tidak
meratanya distribusi alokon sehingga tingkat ketersediaan alokon tidak
konsisten di semua faskes.
Dengan pengelolaan
rantai pasok alokon yang baik akan berdampak pada ketersediaan dan
terdistribusinya alokon secara merata sesuai dengan kebutuhan di faskes
sehingga diharapkan PUS dapat langsung ber-KB untuk merencanakan kehamilan
berikutnya dengan begitu tidak ada lagi kelahiran yang berjarak sangat dekat
kurang dari 2 tahun sehingga ibu yang baru melahirkan bisa fokus membesarkan
anaknya.
Komentar
Posting Komentar